17/03/2010 19:01

Surat dari Prelat Opus Dei (Maret 2010)

 

Dalam masa Prapaskah ini, Uskup Echevarría mengatakan kepada kita bahwa “upaya kita sehari-hari untuk mengubah hati kita terhadap Tuhan pada beberapa hal tertentu adalah sangat penting.”

 

 

02 Maret 2010

Anak-anakku yang terkasih: semoga Yesus menjaga putra dan putriku.

Tahun ini, pada pesan Prapaskah-nya, Bapa Paus merefleksikan tema yang luas mengenai keadilan. Berdasarkan pada definisi klasik kebajikan ini –memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya- Benediktus XVI mengatakan bahwa "apa yang paling dibutuhkan manusia tidak dapat dijamin terpenuhi oleh hukum. Agar supaya menjalani hidup sepenuhnya, sesuatu yang lebih mendalam diperlukan yang dapat diberikan hanya sebagai suatu karunia : kita dapat mengatakan bahwa manusia hidup melalui cinta yang hanya dapat disampaikan oleh Allah karena Dia menciptakan manusia sebagai citra ilahi.” [1]

Memberikan kepada setiap pria atau wanita apa yang menjadi haknya, dalam lingkaran hubungan manusia, adalah suatu tuntutan mutlak yang diperlukan bagi perkembangan masyarakat yang adil, yang sungguh berperikemanusiaan. Dan dalam hal ini, masing-masing dari kita harus berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi kewajiban kita terhadap orang lain, baik secara individu atau sebagai bagian dari masyarakat dimana kita berada : keluarga, bisnis, masyarakat sipil. Namun kita tidak dapat merasa puas dengan hal ini. Nasehat St Josemaría adalah untuk "mempraktekan keadilan dan melampauinya dengan rahmat cinta kasih”[2]

Kejujuran, ketulusan kehendak dalam memenuhi kewajiban terhadap orang lain, adalah fondasi dari suatu masyarakat yang teratur, meskipun diperlukan lebih dari itu. Tuhan kita memiliki kepedulian untuk menyembuhkan orang sakit dan memberi makan mereka yang lapar, tapi ia juga peduli, di atas segala-segalanya, memperbaiki kebutuhan-kebutuhan rohani: ketidaktahuan akan realitas ilahi, penyakit dosa. ... Sebagaimana St Agustinus menulis, jika ”keadilan adalah kebajikan yang memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya ... di mana, lantas, letak keadilan manusia, ketika ia meninggalkan Allah yang benar?"[3] Seperti yang ditegaskan oleh Bapa kita: "percayalah bahwa keadilan saja tidak cukup untuk memecahkan masalah-masalah besar umat manusia. Ketika hanya keadilan yang dilakukan, jangan heran jika orang-orang terluka perasaan mereka. Martabat manusia, yang merupakan anak Allah, membutuhkan jauh lebih dari itu. Cinta kasih harus mempengaruhi dan mendampingi keadilan, karena ia memaniskan dan menjujunjung tinggi segala sesuatu: 'Allah adalah kasih’ (1 Yoh 4:16). Motivasi kita dalam segala hal yang kita lakukan haruslah Kasih akan Allah, yang membuat kita lebih mudah mengasihi sesama kita dan yang memurnikan dan mengangkat semua cinta duniawi ke tingkat yang lebih tinggi."[4]

Pertimbangan-pertimbangan ini, pada awal masa Prapaskah, dapat juga membantu kita untuk mempraktekkan panggilan liturgi sepanjang minggu ini menuju pertobatan, sebagai persiapan Paskah. Untuk dapat memberi kontribusi secara efektif guna mewujudkan masyarakat yang lebih adil, pertama-tama kita harus membereskan hati kita dahulu.

Tuhan kita, ketika ia menegur orang-orang Farisi atas kekhawatiran mereka tentang "tercemar" dan "tidak tercemar"-nya makanan, mengatakan bahwa apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya[5] Sebab hati manusia, dilukai oleh dosa asal dan dosa-dosa pribadi kita, yang merupakan sumber kejahatan yang terbesar, sementara itu juga hati manusia, disembuhkan dan diangkat oleh rahmat, merupakan sumber kebaikan terbesar.

Dosa asal adalah penyebab putusnya persekutuan erat yang mempersatukan manusia dengan Allah dan sesama pada awal sejarah kita. Dosa-dosa pribadi malah membuat putusnya hubungan ini semakin memburuk, mengubahnya menjadi keterpisahan yang dalam. Kita lihat hal ini pada begitu banyak aspek kehidupan pribadi dan kehidupan kebersamaan kita. Meskipun secara kodrat terbuka terhadap orang lain, manusia "menemukan dalam dirinya gaya tarik kekuatan asing yang membuat ia berpaling dan meletakkan kepentingan dirinya di atas – malah melawan - kepentingan orang lain : ini adalah egoisme, akibat dari dosa asal. Adam dan Hawa, tergoda oleh kebohongan setan, mengambil buah misterius melawan perintah ilahi, mengganti logika mempercayai dalam cinta dengan kecurigaan dan persaingan; logika menerima dan berharap dengan penuh percaya dari Yang Lain, dengan merampas penuh nafsu dan bertindak atas dirinya sendiri (bdk. Kej 3:1 -- 6), mengalami, sebagai akibatnya, perasaan gelisah dan tidak pasti. Bagaimana manusia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh egois ini dan membuka diri pada kasih? "[6]

Pertanyaan ini mengungkapkan keinginan terdalam setiap orang, karena setelah diciptakan oleh cinta dan demi cinta, semua pria dan wanita -tidak peduli berapa kali mereka mencoba menyembunyikannya- ingin mengisi hati mereka dengan cinta yang besar dan murni, yang berasal dari persembahan diri mereka sendiri kepada Tuhan dan kepada orang lain demi Tuhan, sehingga tidak ada ruang tersisa untuk cinta diri yang tidak teratur. Ini hanya mungkin dengan bantuan rahmat ilahi, yang menyembuhkan, menguatkan dan mengangkat jiwa kita -anugerah yang kita terima dengan berlimpah, di atas semuanya, melalui sakramen Tobat dan Ekaristi.

Maka mari kita selama masa puasa ini mengembangkan keinginan untuk pembaharuan rohani, dengan kepedulian yang lebih besar dalam mempersiapan Pengakuan dosa secara teratur, dan menanamkan lebih banyak cinta ke dalam persiapan kita sehari-hari untuk menerima Tuhan kita dalam Ekaristi. Mari kita juga lakukan apapun yang mungkin untuk membantu mereka yang berhubungan dengan kita setiap hari agar mengikuti jalan yang sama. Sudahkah kita bertekad memilih cara-cara konkret untuk menjalani praktek-praktek masa puasa yang dianjurkan Gereja selama minggu ini? Berusaha untuk tetap dekat dengan Tuhan kita dan Bunda Maria, menjadi lebih bermurah-hati dalam semangat silih kita, menetapkan tujuan-tujuan khusus untuk membantu orang lain, terutama dalam kerasulan kita, akan memastikan bahwa jiwa kita siap untuk menerima buah Paskah.

Ketika kita menempuh sepanjang jalan ini, upaya kita sehari-hari untuk mengubah hati kita terhadap Tuhan dalam hal tertentu adalah sangat penting. Perubahan-perubahan yang timbul -mungkin dalam hal-hal kecil, tetapi dengan usaha yang sama seperti ketika melakukan yang besar- adalah saat-saat yang sangat penting bagi pengudusan kita. Tuhan kita dengan sangat menginginkan bahwa perubahan ini terjadi dalam diri kita, tetapi ia memerlukan kerjasama pribadi kita. Mari kita mengingat kata-kata St Agustinus: "Allah, yang menciptakan kalian, tidak akan menyelamatkan kalian tanpa kalian." [7]

Dengan dorongan Roh Kudus, langkah-langkah kecil ke depan sehari-hari ini memiliki kekuatan untuk membuka lebar pintu ego kita sehingga rahmat ilahi itu dapat menyucikan dan membakarnya dengan cinta kepada Allah dan sesama. Oleh karena itu, St Josemaría menulis, "kita tidak dapat menganggap masa Prapaskah ini sebagai sekedar masa liturgi lain yang kembali terjadi begitu saja lagi. Masa Prapaskah adalah waktu khusus: suatu bantuan ilahi yang harus kita terima. Yesus sedang berlalu dan Ia berharap bahwa kita akan mengambil sebuah langkah besar ke depan- hari ini, sekarang."[8]

Ingatlah bahwa kata “keadilan” dalam Kitab Suci memiliki arti yang sangat dalam, terutama ketika berbicara mengenai Allah. Dalam pengertian ini, ini berarti di atas semua kekudusan ilahi, yang mana Allah ingin sampaikan secara bebas kepada kita melalui iman dalam Yesus Kristus, seperti yang diajarkan Paulus dalam surat Roma. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya. [9]

Hanya dengan bersatu dengan Kristus melalui iman dan sakramen-sakramen kita dapat membuat kekudusan itu menjadi milik kita, yang dicapai-Nya bagi kita dengan mati di kayu Salib demi dosa-dosa kita serta bangkit untuk penyelamatan kita. "Di sini kita temukan keadilan ilahi, yang begitu sangat berbeda dari keadlian manusiawi. Allah telah melunasinya harga penebusan yang dibayar dalam diri Putra-Nya ; sebuah harga yang benar-benar sangat mahal. Dihadapkan dengan keadilan Salib, manusia barangkali memberontak, karena ini menunjukkan bahwa ia bukanlah makluk yang dapat mengandalkan dirinya sendiri, melainkan membutuhkan Yang Lain dalam rangka mewujudkan diri sepenuhnya. Pertobatan kepada Kristus, percaya kepada Injil, pada akhirnya berarti: keluar dari ilusi bahwa kita dapat mengandalkan dirinya sendiri agar dapat menemukan dan menerima kebutuhan sendiri -kebutuhan akan orang lain dan akan Tuhan, kebutuhan akan pengampunan-Nya dan persahabatan-Nya."[10]

Betapa baik kita memahami, dalam konteks ini, dorongan terus-menerus Bapa kita -pertama, dengan contoh hidupnya sendiri- bahwa kita menghidupkan kembali setiap hari dalam kehidupan kita sendiri "peran anak yang hilang"! Ini adalah ajaran yang selalu tepat pada waktunya bagi kita, namun terutama selama minggu-minggu mendatang. Boleh dikatakan bahwa kehidupan manusia adalah terus-menerus kembali ke rumah Bapa kita. Kita kembali melalui penyesalan, melalui pertobatan hati yang berarti keinginan untuk berubah, keputusan tegas untuk memperbaiki hidup kita dan yang, oleh karena itu, terwujud dalam pengorbanan dan pengorbanan diri. Kita kembali ke rumah Tuhan Bapa kita melalui Sakramen Pengampunan di mana, dengan mengakui dosa kita, kita mengenakan kembali Yesus Kristus dan menjadi saudara-saudaraNya, anggota keluarga Allah.

Tuhan menantikan kita, seperti ayah dalam perumpamaan itu, dengan tangan terbuka, meskipun kita tidak layak menerimanya. Tidaklah peduli betapa besar hutang kita. Sama seperti anak yang hilang, apa yang harus kita lakukan adalah membuka hati kita, agar kita rasakan kerinduan untuk kembali ke rumah Tuhan Bapa kita, mengagumi dan bersukacita dalam karuniNya yang membuat kita bisa menyebut diri kita anak-anak-Nya, betul-betul menjadi anak-anak-Nya, sekalipun tanggapan kita kepada-Nya begitu sedikit."[11]

Akan lebih mudah bagi kita untuk menempuh jalan ini tanpa menjadi lelah bilamana kita selalu dekat dengan Ibu kita Maria, dan dengan St Yusuf, mempelainya yang amat suci. Mari kita menuju kepada mereka dengan kepercayaan yang besar dalam Tahun Maria yang telah kita mulai dalam Opus Dei ini, dengan keinginan yang sangat untuk memperbarui dedikasi kita dalam Opus Dei pada hari raya St. Yosef. Sekali lagi hati saya merasa tergerak oleh beberapa kata-kata St Josemaría bahwa kita harus pertimbangkan semuanya secara sungguh-sungguh. Mengacu pada awal karya kerasulan Opus Dei bagi kaum wanita, dia mengatakan kepada anak-anak perempuannya: "Saya kira hanya akan ada laki-laki dalam Opus Dei. Bukan berarti saya tidak ingin perempuan... Tapi sebelum tanggal 14 Februari 1930, saya tidak memiliki pemahaman akan keberadaan kalian dalam Opus Dei, meskipun hati saya berkobar-kobar oleh keinginan untuk memenuhi kehendak Allah dalam segala sesuatu."[12] Putra dan putriku, apakah kita berusaha memupuk sikap hidup ini -keinginan untuk memenuhi kehendak Allah- pada setiap waktu ? Apakah kita sadar bahwa hanya dengan keinginan yang berapi-api ini maka perilaku seorang wanita Kristen, seorang pria Kristen, dapat dipahami?

Pada bulan yang lalu saya melakukan perjalanan singkat ke Valencia, diundang oleh Uskup Agung dari keuskupan itu dalam rangka Tahun Imam, dan ke Palma de Mallorca di Kepulauan Balearik, di mana karya kerasulan prelatur Opus Dei tumbuh dengan mantap. Di sana saya sekali lagi merasakan kerinduan akan Allah ada dalam begitu banyak jiwa-jiwa. Dan saya melihat bagaimana mereka menerima semangat Opus Dei dengan penuh syukur, yang membantu mereka mencari dan menemukan Tritunggal Mahakudus dalam kegiatan mereka sehari-hari. Sebagaimana biasanya ketika saya melakukan perjalanan ini, saya mengandalkan dukungan doa kalian semua. Teruslah selalu menemani aku!

Pada tanggal 23, kita akan sekali lagi memperingati peringatan wafatnya Uskup Alvaro yang kita cintai. Dalam mengingat kebiasannya yang selalu mendorong kita ke Bunda Maria, saya sarankan agar kalian secara pribadi memohon perantaraannya agar rahmat Tahun Maria ini secara mendalam menjiwai kehidupan kalian.

Pada akhir bulan, tanggal 28, kita akan memperingati peringatan lainnya yakni Tahbisan Imamat Bapa Pendiri kita. Mari kita memohon perantaraannya dalam berdoa bagi Paus dan bagi mereka yang membantunya, bagi para uskup lainnya, bagi para imam seluruh dunia, bagi panggilan imamat dan panggilan untuk hidup religius, bagi kesucian seluruh umat Allah yang telah diperoleh Yesus dengan darah-Nya. [13]

Dengan penuh kasih sayang, saya memberkati kalian,

Bapa kalian,

+ Javier

Roma, 1 Maret 2010

Catatan:

[1] Benediktus XVI, Pesan Prapaskah 2010, 30 Oktober 2009.

[2] St Josemaría, Kristus yang sedang berlalu, no. 77.

[3] St Augustinus, The City of God (Kota Tuhan), XIX, 21.

[4] St Josemaría, Sahabat Tuhan, no. 172.

[5] Mrk 7:15

[6] Benediktus XVI, Pesan Prapaskah 2010, 30 Oktober 2009.

[7] St Augustinus, Sermon 169, 13 (PL 38, 923).

[8] St Josemaría, Kristus yang sedang berlalu, no. 59.

[9] Rom 3:22-25.

[10] Benediktus XVI, Pesan Prapaskah 2010, 30 Oktober 2009.

[11] St Josemaría, Kristus yang sedang berlalu, no. 64

[12] St Josemaría, Catatan dari pertemuan keluarga, 11 Juli 1974.

[13] bdk. 1 Korintus 6:20; 7:23.

 

—————

Back


Topic: Surat dari Prelat Opus Dei (Maret 2010)

No comments found.





Assumption Of The Virgin

Karya Francesco Granacci, 1517



Pusat Opus Dei Surabaya
Jln. W.R. Supratman 65
Surabaya 60263
Tlp.(62-31)5614937

Pembimbing rohani
Romo F.X. Zen Taufik
Romo Ramon Nadres