19/07/2010 22:01

Surat dari Prelat Opus Dei (Juni 2010)

Perayaan-perayaan penting liturgis yang dirayakan oleh Gereja sepanjang minggu-minggu ini merupakan fokus dari Surat Prelat Opus Dei bulan Juni.

 

1 Juni 2010

Putra dan putriku yang terkasih: semoga Yesus menjaga kalian.

Kurban Ekaristik, di mana Kristus memanggil kita setiap hari, menghantar kita ke dalam inti Misteri Paskah. Setiap kali kita merayakan atau menghadiri Misa kudus, kita berpartisipasi dalam tindakan kasih Kristus yang paling tinggi yang berlangsung pada kayu Salib, di mana seluruh hidup-Nya diarahkan. Namun ada saat-saat dan keadaan-keadaan di mana sembah sujud dan rasa syukur, pertobatan dan seruan permohonan yang kita naikan kepada Allah melalui Kristus, dalam Misa Kudus, memperoleh makna khusus.

Sukacita dan syukur kita kepada Allah atas anugerah yang sedemikian besar, yang perlu kita perbaharui setiap hari, diperkuat oleh perayaan-perayaan hari raya liturgis yang telah atau akan kita rayakan sepanjang hari-hari ini, karena perayaan-perayaan ini menempatkan kita dalam persekutuan erat dengan berbagai segi Misteri Kristus dan meneruskan rahmat khusus bagi kita.

Kisah Para Rasul menceriterakan kepada kita bahwa, dalam Gereja perdana, Roh Kudus mewujudkan diri-Nya pada hari Pentakosta sebagai angin kencang dan sebagai lidah-lidah api yang hinggap di atas kepala para Rasul, memenuhi mereka dengan karunia-Nya dan menganugerahi mereka kedamaian yang telah dijanjikan sendiri oleh Guru mereka: Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu.[1] Melalui tanda-tanda kedatangan Roh Kudus ini, Tuhan kita juga menunjukkan kepada kita efek dari tindakan Roh Kudus dalam jiwa-jiwa mereka yang dengan patuh membuka diri bagi karunia-Nya.

Dalam angin kencang kita menemukan kemampuan kekuatan ilahi dalam mengatasi hambatan-hambatan yang paling berat, lagi pula udara segar yang menghilangkan awan kotor yang sering meracuni atmosfer. Simbol ini, menurut Paus Benediktus XVI, "membuat orang berpikir betapa berharganya menghirup udara bersih, secara fisik dengan paru-paru dan secara rohani dengan hati, udara segar dari Roh adalah kasih."[2] Lidah-lidah api berbicara kepada kita mengenai kobaran Kasih yang dengannya ingin menyalakan hati para pria dan wanita. Lidah api itu "turun ke atas para rasul yang berkumpul; menyala di dalam mereka dan memberi mereka semangat baru yang berasal dari Allah. Demikianlah apa yang sebelumnya telah Yesus katakan terpenuhi: Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! (Luk 12:49). Para Rasul, bersama-sama dengan berbagai komunitas umat beriman, membawa api ilahi ini jauh ke ujung-ujung dunia. Dengan demikian mereka membuka jalan bagi kemanusiaan, sebuah jalan yang bercahaya, dan mereka bekerja-sama dengan Allah, yang ingin memperbaharui muka bumi dengan api-Nya."[3]

Marilah kita bersyukur kepada Bunda Maria atas pengantaraannya terus menerus agar kita lebih peka terhadap inspirasi-inspirasi Roh Kudus, sebagaimana terjadi atas para Rasul yang berkumpul di sekelilingnya di ruang atas Senakel. Saya sedang memikirkan khususnya mengenai anugerah-anugerah yang telah ia dapatkan bagi kita di sepanjang bulan Mei, di mana kita telah berusaha untuk menghormatinya dengan bakti sejati sebagai seorang anak, dan khususnya dalam kedekatannya dengan Yesus, ia mengundang kita untuk berkembang.

Selain itu, hari Minggu yang lalu ini, hari raya Tritunggal yang Mahakudus, telah menjadi sebuah panggilan baru dari surga untuk mengarahkan pikiran dan hati kita ke tempat di mana sukacita sejati ditemukan: dekat dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus, satu Allah yang mengisi alam semesta, yang tinggal melalui rahmat dalam hati kita dan yang ingin membawa kita pada persatuan definitif (tetap) dalam hidupnya sendiri dalam kemuliaan Surgawi. Bagaimana cara kita berdoa Trisagium Angelicum (Doa kepada Tritunggal Mahakudus) sepanjang hari-hari menjelang perayaan? Apakah kita menggemakan doa pujian para malaikat yang berkesinambungan kepada Tritunggal Mahakudus? Dan sekarang begitu perayaan telah tiba dan berlalu, apakah kita terus berupaya untuk tinggal dekat pada masing-masing Pribadi Ilahi, membedakan-Nya tanpa memisahkan-Nya ?

Saya ada satu cerita bagi kalian. Di dalam ruang doa Bapa pendiri kita, di Perguruan Tinggi Roma Salib Suci, di bagian depan kanopi yang terbuat dari marmer, terukir kata-kata BENEDICTA SIT SANCTA TRINITAS ATQUE INDIVISA UNITAS. St Josemaría sering datang ke sana pada saat masih dalam pembangunan. Beliau memang tidak dapat melihatnya ketika masih hidup, meskipun ia mengetahui ukiran tersebut dalam hatinya, ia selalu mengajak, mengundang kita untuk berdoa: Apa yang tertulis di situ? Semoga seluruh hidup kita diubah menjadi pujian bagi Allah Tritunggal kita.

Sekarang kita sedang mempersiapkan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus dan Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus, yang saling berdekatan, bukan saja soal waktu, tetapi karena keduanya memperingati dua manifestasi cinta kasih Tuhan yang begitu besar bagi umat manusia. "Cinta diwahyukan kepada kita dalam inkarnasi, perjalanan penyelamatan yang dilakukan Yesus Kristus di bumi kita, memuncak pada pengorbanan tertinggi di kayu Salib. Dan pada kayu salib itu sendiri tampaklah sebuah tanda baru: seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.(Yoh 19:34). Air dan darah Yesus ini berbicara kepada kita mengenai totalitas pengorbanan diri: Sudah selesai (Yoh 19:30) -segalanya tercapai, demi cinta kasih."[4]

Pada Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus, tanggal 11 Juni, Tahun Para Imam akan berakhir. Marilah kita terus berdoa dan mengajak orang lain untuk berdoa bagi panggilan imamat, bagi kesucian para imam dan seluruh umat Kristiani. Saya memohon kepada Tuhan kita agar doa yang ampuh ini, yang telah kita panjatkan selama beberapa bulan terakhir ini, tidak akan pernah berakhir di dalam jiwa kita, juga untuk membungkam mereka yang menyerang karunia imamat yang istimewa.

Beberapa hari lalu saya berziarah ke Turin untuk berdoa di depan Kain Kafan Suci yang dipertunjukan kepada kaum beriman agar mereka dapat melakukan penghormatan. Sangatlah menyentuh, menyadari betapa banyak penderitaan yang kita bebankan kepada Tuhan kita. Seperti yang dikatakan Yohanes Paulus II, "Kain Kafan adalah sebuah cermin Injil. Sesungguhnya, bila kita merenungkan Kain Linen suci tersebut, kita menyadari hubungan yang dalam bahwa gambar itu telah menyajikan apa yang Injil ceritakan mengenai penderitaan dan kematian Yesus, sehingga setiap orang yang peka hatinya merasa tersentuh ketika mengamatinya."[5]

Saya pergi melakukan penghormatan pada Kain Kafan disertai oleh kalian semua -seperti yang selalu saya lakukan dalam perjalanan saya- meminta kepada Tuhan kita untuk menyalakan hati kita dengan api Roh Kudus. Sebagaimana Benediktus XVI berkata beberapa minggu lalu, sepulang dari kunjungannya di Turin: "Kain suci ini dapat memelihara dan memupuk iman dan menghidupkan kembali devosi Kristiani karena mendorong kita menuju ke Wajah Kristus, ke Tubuh Kristus yang disalibkan dan bangkit, untuk merenungan Misteri Paskah, inti pesan Kristiani."[6]

Untuk melihat Allah, untuk merenungkan wajah Yesus Kristus, untuk memperoleh kebahagiaan kekal melalui pandangan akan kemuliaan ilahi, adalah keinginan manusia yang terdalam, meskipun jutaan orang tidak menyadari aspirasi ini. Terlintas dalam pikiran keinginan Bapa pendiri kita untuk merenungkan wajah Kristus. Dia mengatakan kepada kita bahwa keinginan ini "adalah wajar. Orang jatuh cinta selalu merindukan untuk memandang satu sama lain. Orang yang jatuh cinta memiliki mata hanya untuk orang yang mereka cintai. Bukankah hal ini wajar? Hati manusia merasakan tuntutan-tuntutan ini. Saya akan berbohong jika saya menyangkal bahwa saya menjadi sangat tersentuh oleh keinginan untuk merenungkan wajah Kristus. Vultum tuum, Domine, requiram (Mzm 26:8), Tuhan, aku ingin memandang wajah-Mu. Aku ingin memejamkan mataku," ia mau mengatakan kepada kita, khususnya pada tahun-tahun terakhir kehidupan duniawinya, "dan berpikir mengenai saat yang akan datang, kapanpun Allah mau, ketika saya akan memandang-Nya bukan dalam cermin dengan gambaran yang tersamar-samar, melainkan ... muka dengan muka (I Kor 13:12). Ya, anak-anakku: Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? (Mzm 42 [41]: 3)."[7]

Marilah kita juga mengembangkan aspirasi ini, mencari Yesus dalam Tabernakel -di mana Ia benar-benar hadir- dan di dalam jiwa kita yang hidup dalam rahmat. Marilah kita berusaha menemukan Dia juga di dalam anggota-anggota Gereja, Tubuh Mistik-Nya, terutama di dalam diri orang-orang yang tidak beruntung: orang sakit, orang miskin, orang-orang yang mengalami penganiayaan karena keyakinan agama mereka, mereka yang tidak berdaya oleh berbagai jenis ketidakadilan di berbagai belahan dunia. Kita tidak bisa bersikap acuh terhadap siapa pun, kita semua dipanggil untuk menjadi anggota Tubuh Kristus, yang bangkit dan terus berkarya dalam sejarah: "anggota yang hidup ... masing-masing sesuai dengan perannya, yaitu, tugas yang diinginkan Tuhan untuk diamanatkan kepada kita,"[8] dengan menggabungkan diri kepada-Nya melalui pembaptisan.

Identitas Kristiani kita berakar dalam sakramen ini. Panggilan kita pada kekudusan dan kerasulan dibentuk secara khusus melalui kesadaran diri kita untuk menjadi pengantara dalam Kristus Yesus bagi keselamatan dunia. Betapa jelasnya kata-kata St. Josemaria mengenai hal ini! "Seorang Rasul -itulah seorang Kristen yang, ketika ia menyadari bahwa ia telah dicangkokan pada Kristus, menjadi satu dengan Kristus, dalam pembaptisan. Ia telah dianugerahi kemampuan untuk melakukan pertempuran dalam nama Kristus, melalui Krisma. Ia telah dipanggil untuk melayani Tuhan melalui aktivitasnya di dunia, sebab imamat umum umat beriman, membuatnya dalam beberapa cara berbagi dalam imamat Kristus. Imamat ini -meski pada dasarnya berbeda dari imamat jabatan- menganugerahinya kemampuan untuk ambil bagian dalam ibadat Gereja dan untuk membantu orang lain dalam perjalanan mereka menuju Allah, dengan kesaksian perkataannya dan teladannya, melalui doa dan karya penebusannya."[9]

Marilah kita merenungkan dengan seksama pada pertimbangan-pertimbangan ini ketika Tahun Para Imam segera akan berakhir, dan berusaha untuk mengambil konsekuensi-konsekuansi pribadi. Beberapa kata-kata St. Josemaria dari buku "Tempaan" dapat membantu kita: "Yesus, Sang Penabur yang baik, mengambil kita masing-masing, anak-anak-Nya, dan memegang kita erat-erat dalam tangan-Nya yang terluka, bagai gandum. Dia mencelupkan kita dalam darah-Nya. Dia menyucikan dan membersihkan kita. Dia memenuhi kita dengan 'anggur-Nya'! Dan kemudian dengan murah hati ia menaburkan kita ke seluruh dunia, pribadi demi pribadi, karena gandum tidak ditaburkan sekaligus, tetapi butir demi butir".[10]

Pertama, Tuhan kita "mencelupkan kita dalam Darah-Nya" melalui sakramen-sakramen, dan dengan demikian "memurnikan dan membersihkan kita", Ia membawa kita pada kekudusan. Namun hanya bila kita mau, jika kita membiarkan Roh Kudus berkarya, sebab ia adalah Sang Pengukir identitas kita dengan Yesus.

Kita harus mencari persatuan dengan Kemanusiawian Tuhan kita yang Mahakudus dalam Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Kita perlu memahami ajaran-ajaran-Nya, tidak saja dengan membaca Kitab Suci dan dengan keinginan untuk belajar dan menambah pengetahuan kita akan ajaran Gereja (doktrin), tetapi juga dengan memelihara dialog tulus dengan-Nya melalui doa: memohon dengan sangat agar sabda-Nya menembus sudut kelemahan diri kita yang terdalam dan memenuhi perasaan dan keinginan kita. Dan kita harus berkeinginan agar Ia menghantar kita untuk mengikuti jejak-Nya, untuk belajar dari kebajikan-kebajikan-Nya, untuk mempersatukan diri kita jauh lebih dekat dengan cara-Nya berbelas kasih, pengertian dan mencintai.

Setelah Roh Kudus melakukan karya-karya ini dalam diri kita -atau lebih baik, selagi melakukan karya-karya itu - Tuhan kita "menyebarkan kita keseluruh dunia," bagai sang penabur menaburkan biji gandum di alur, untuk menghasilkan buah; menjadikan diri kita sebagai pemersatu antara Allah dan umat manusia, berkat jiwa imamat kita. Para imam memiliki selain imamat jabatan yang mereka terima dalam sakramen Tahbisan, yang memungkinkan mereka untuk bertindak in persona Christi Capitis (dalam Pribadi Kristus Sang Kepala), dengan demikian Kristus Kepala Gereja dapat hadir dalam perayaan-perayaan liturgi.

Di Opus Dei, Tuhan kita telah memberi kita sebuah panggilan khusus, dalam panggilan umum Kristiani, yang mendorong kita untuk melayani dengan semangat yang diwujudkan St. Josemaria sejak 1928. Bertumpu pada karakter pembaptisan, pada rahmat khusus yang merupakan panggilan ke Opus Dei, memacu kita untuk selalu membantu Kristus dalam menyelamatan jiwa-jiwa, tapi bukan karena kita lebih baik dari yang lainnya. Yesus adalah satu-satunya Pengantara antara Allah dan umat manusia [11], namun Ia menghendaki agar kita membantu-Nya dalam karya tersebut.

Pertama kita harus menggabungkan diri kita dengan kesalehan yang mendalam ke Pengurbanan Kristus dalam Misa. Seluruh hidup kita, dalam hubungan dengan Ekaristi ini, diubah menjadi sebuah tindakan sembah sujud, syukur dan pertobatan: hal ini membawa kita kepada pengabdian total diri kita dan tindakan kita sebagai alat bagi Yesus Kristus di dunia. Dengan mengobah hidup kita "ke dalam Misa" sebagaimana St. Josemaria pernah mengatakan, kita adalah jiwa-jiwa Ekaristik sejati: laki-laki dan perempuan yang berupaya untuk meniru Sang Guru Ilahi dalam segala perilaku mereka.

Jadi kita dapat membantu setiap orang untuk menerima buah-buah karya Penebusan; kita menjadi alat-alat Kristus untuk mengajar ajaran-Nya kepada orang lain, untuk membawa mereka menuju sumber rahmat dalam sakramen-sakramen dan menuntun mereka di sepanjang jalan menuju kehidupan abadi, dengan melakukannya sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Di bawah bimbingan Roh Kudus, kita akan mengiringi jejak kaki Tuhan kita, dan aspirasi St. Josemaria akan menjadi nyata dalam hidup kita: "Kita harus memberi hidup kita bagi sesama. Itulah satu-satunya cara untuk menjalani kehidupan Yesus Kristus dan untuk menjadi satu dan sama dengan Dia."[12]

Hari peringatan kepergian Bapa pendiri kita ke surga semakin mendekat. Marilah kita menuju dengan iman ke pengantaraannya pada minggu-minggu sebelum tanggal 26 juni ini, agar dengan mengikuti dengan setia teladan dan ajarannya, kita juga akan belajar menyesuaikan hidup kita dengan hidup Kristus, menjadi satu dengan-Nya.

Pada hari sebelum tanggal 26 Juni kita akan mengenang tahbisan tiga imam pertama Opus Dei, mereka telah mendahului kita di jalan kesetiaan yang begitu besar. Mereka selalu terlibat dalam "kepedulian Tuhan", karena itu mereka menyadari bagaimana bisa menjadi patuh sepenuhnya pada apa yang diminta oleh Bapa pendiri kita dari mereka, dalam rangka mewujudkan Opus Dei dengan penuh kesetiaan dalam pelayanan Gereja. Orang-orang berkata tentang mereka, juga dalam hubungan dengan Bapa pendiri kita: ia mentahbiskan mereka dan sekarang ia sedang "membunuh" mereka dengan pekerjaan-pekerjaan. Marilah kita belajar dari mereka, para imam dan juga kaum awam, bagaimana agar tidak pernah berkata "cukup" dihadapan tuntutan-tuntutan jiwa imamat kita.

Teruslah bersatu erat dengan doa dan intensi-intensi saya. Saya bergantung khususnya pada orang sakit -yang tidak pernah tidak ada di Opus Dei- dan pada mereka yang menderita oleh satu atau alasan lainnya. Jika mereka menyatukan penderitaan mereka pada Salib Kristus, dengan penuh suka cita mempersembahkan penderitaan dan kesedihan mereka, mereka dapat menjadi, di tengah-tengah kelemahan mereka, tonggak-tonggak yang kuat menopang sesama.

Dengan penuh kasih-sayang, saya memberkati kalian,

Bapamu

+ Javier

Roma, 1 Juni 2010

 

Catatan kaki :

1. Yoh 14:27.

2. Benediktus XVI, Homili pada Hari Raya Pentakosta, 31 Mei 2009.

3. Benediktus XVI, Homili pada Hari Raya Pentakosta, 23 Mei 2010.

4. St. Josemaría, Kristus Yang Sedang Berlalu, no. 162.

5. Yohanes Paulus II, Amanat di Turin, 24 Mei 1998.

6. Benediktus XVI, disampaikan pada audiensi umum, 5 Mei 2010.

7. St Josemaría, Catatan diambil dalam sebuah meditasi, 25 Desember 1973.

8. Benediktus XVI, disampaikan pada audiensi umum, 5 Mei 2010.

9. St. Josemaría, Kristus Yang Sedang Berlalu, no. 120.

10. St Josemaría, Tempaan, no. 894.

11. bdk. 1 Tim 2:05.

12. St Josemaría, Jalan Salib, Perhentian ke-empat belas.

—————

Back


Assumption Of The Virgin

Karya Francesco Granacci, 1517



Pusat Opus Dei Surabaya
Jln. W.R. Supratman 65
Surabaya 60263
Tlp.(62-31)5614937

Pembimbing rohani
Romo F.X. Zen Taufik
Romo Ramon Nadres