23/04/2010 21:06

Surat dari Prelat Opus Dei (April 2010)

"Dengan penghinaan yang dideritaNya dan keagungan-Nya yang datang sesudahnya, Tuhan kita telah merintis jalan bagi kita yang harus kita ikuti dalam kehidupan kita sehari-hari,” Uskup Echevarria mengatakan kepada kita dalam suratnya di bulan April.

Roma, 1 April 2010

Anak-anakku yang terkasih: semoga Yesus menjaga kalian, putra dan putriku!

Tanggal 31 Maret kemarin, adalah hari peringatan ke tujuh puluh lima misa perdana St. Josemaria di Asrama Mahasiwa Ferraz dan meletakkan Sakramen Mahakudus dalam tabernakel. Dan besok, tanggal 2 April, genap lima tahun sejak wafatnya Bapa Paus Yohanes Paulus II. Dua peringatan yang sangat berbeda namun meskipun demikian membangkitkan gaung khusus di dalam hati kita. Dua peringatan itu berada di tengah-tengah Pekan Suci. Keduanya mengundang kita untuk menjalankan panggilan kristiani kita dalam persatuan yang erat dengan Yesus Kristus, yang sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus, mendampingi-Nya dengan erat dalam penderitaan penebusan-Nya.

St. Josemaria sering mengenangkan bahwa, setelah Tuhan kita menetap dalam Tabernakel di Center (rumah pusat Opus Dei), kerasulan Opus Dei mengalami pertumbuhan yang pesat. Segera sesudah itu, walaupun kesulitan-kesulitan dijumpai - yang selalu ada, karena itulah jalan yang diambil Tuhan kita -, hasil panen mulai datang secara lebih berlimpah. Beliau menuliskan hal ini dalam sebuah surat kepada Vikaris Jendral Keuskupan Madrid-Alcalá: “Karena kita sudah memiliki Yesus dalam Tabernakel di rumah ini, sangat jelas terlihat : Tuhan datang, dan Opus Dei berkembang baik dalam segala jangkauan maupun kekuatan (intensitas).

Kita semua masih ingat bagaimana kematian Yohanes Paulus II menimbulkan suatu “gempa bumi” rohani pada begitu banyak orang dan menghasilkan buah yang sangat besar. Semua itu diawali oleh tahun tahun-tahun, bulan-bulan dan minggu-minggu di mana beliau memberikan kesaksian yang mengagumkan bagaimana mengikuti Yesus Kristus, melalui homili dan teladannya, melalui masa sakitnya yang panjang, kehidupannya yang penuh pengorbanan dan kematiannya. Tentu kita ingat bagaimana tabahnya beliau memikul Salib Suci, sementara mengikuti Jalan Salib melalui televisi – dia sendiri tidak bisa turut hadir secara pribadi- pada hari Jumat Agung.

Hal ini dan segala yang kita ingat, dapat membantu kita untuk “meletakan diri kita sendiri” lebih dalam ke dalam suasana Pekan Suci. Liturgi Triduum Suci, yang dimulai malam ini dengan Misa “in Cena Domini” (Misa Kamis Putih) dan diakhiri dengan Malam Paskah, secara mengesankan mengingatkan kembali jalan yang dipilih Allah untuk menebus kita. Mari kita memohon kepada Tuhan kita rahmat yang berlimpah-limpah untuk memahami lebih mendalam tentang karunia yang sangat besar ini, yang sungguh tak ternilai, dan yang telah Dia berikan kepada umat manusia melalui pengorbanNya di Kayu Salib. Apa yang telah kalian lakukan untuk tidak meninggalkan Yesus sendirian? Bagaimana kalian memohon kepadaNya agar membuat kalian memiliki jiwa seorang petobat yang murah hati ? Apakah kalian mempergunakan sarana-sarana agar supaya kalian tidak pernah melarikan diri seperti yang pernah dilakukan oleh para Rasul ?

Mengomentari pujian St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi yang melukiskan perendahan diri Allah untuk menyelamatkan kita,[2] Paus Benediktus XVI mengatakan: “Sang Rasul secara ringkas dan efektif melacak kembali misteri sejarah keselamatan, menyebutkan kesombongan Adam yang, walaupun ia bukan Allah, ingin menjadi seperti Allah. Dan ia membandingkan kesombongan manusia pertama, yang cenderung ada di dalam diri kita semua, dengan kerendahan hati Anak Allah yang sejati yang, ketika menjadi manusia tanpa ragu-ragu mengambil semua kelemahan manusia, kecuali dalam hal dosa, dan bahkan hingga dalam hal kelemahan kematian. Turunnya Yesus Kristus kedalam Kesengsaraan yang paling dalam dan kematian yang diikuti oleh keagungan-Nya, kemuliaan sejati, kemuliaan kasih yang hingga paling akhir. Dan karena itu tepatlah, seperti kata St. Paulus, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," (Flp 2:10-11).”[3]

Mari kita berhenti sejenak untuk merenungkan kata-kata Santo Paulus ini, yang akan kita dengar sekali lagi pada hari Jumat Agung sebelum bacaan kisah sengsara menurut St. Yohanes. Kata-kata itu, seakan-akan merupakan, sebuah pintu yang memungkinkan kita untuk masuk ke dalam rencana ilahi, yang acapkali jauh berbeda dari rencana manusia belaka. Mari kita rangkul kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalan yang diizinkan oleh Tuhan, atau yang dikirim oleh Tuhan dengan kepastian bahwa semua itu adalah merupakan bukti kasih-Nya, sebagaimana penderitaan dan kematian Anak-Nya. "Semua ini," kata Paus Benediktus XVI, "bukanlah akibat dari sebuah mekanisme yang tak jelas atau takdir buta: bukan, itu adalah hasil pilihan bebas-Nya sendiri, melalui ketaatan yang sepenuh hati pada rencana keselamatan Bapa. Dan kematian yang dihadapi-Nya, Paulus menambahkan, adalah penyaliban itu, kematian yang penuh hina dan paling memalukan yang dapat dibayangkan. Bapa Suci menambahkan, Tuhan Semesta Alam melakukan hal ini demi cinta-Nya kepada kita : karena kasihNya Ia memilih 'untuk mengosongkan dirinya' dan menjadikan diriNya sebagai saudara kita; karena kasihNya Ia mengambil bagian dalam kondisi kita, kondisi setiap pria dan wanita” [4]

Dengan penghinaan yang diterima-Nya dan peng-agungan-Nya yang datang setelah itu, Tuhan kita merintis jalan bagi kita yang harus kita ikuti dalam kehidupan kita sehari-hari. "Jika kita setia kepada-Nya, kehidupan Yesus sendiri," tulis St Josemaría, "bisa dikatakan akan terulang dalam kehidupan kita masing-masing, baik dalam pengembangan internal (proses pengudusan) maupun dalam perilaku luar kita."[5] Dengan demikian, di bawah karya Roh Kudus, dengan tanggapan pribadi kita, kehidupan Kristus akan lebih terlihat secara jelas di dalam diri kita. Bilamana kita menjalankan Via Crucis (Jalan Salib), kita juga dapat secara lebih mendalam, merenungkan apa yang ditulis oleh Bapa kita: “Tuhan, bantulah aku untuk mencabut, -melalui penebusan dosa-, topeng yang amat menyedihkan ini, yang telah aku kenakan karena perbuatan-perbuatan burukku ... sesudah itu, dan hanya sesudah itu, dengan mengikuti jalan kontemplasi dan pertobatan, hidupku akan mulai meniru keutamaan-keutamaan hidup-Mu dengan penuh setia. Kami akan menemukan diri kami menjadi semakin serupa dengan Mu. Kami akan menjadi Kristus-Kristus yang lain, Kristus itu sendiri, Ipse Christus.”[6]

Para putra dan putriku, saya memohon kepada Allah agar kita dapat memahami dengan baik bahwa perwujudan terbesar dari cinta kasih dan kebahagiaan adalah dalam pengosongan diri kita, sebab pada saat itu Allah mengisi jiwa kita hingga penuh. Janganlah kita lupa kebenaran yang terkandung dalam ayat-ayat poesi yang sering diucapkannya – satu poesi yang sederhana, seperti dikatakan oleh Bapa kita : Hati Yesus, terangilah aku, / Hari ini Engkau kupanggil sebagai Cintaku dan Hartaku,/ Hari ini Engkau memberiku salib-Mu dan duri-duri-Mu / Hari ini bisa kukatakan bahwa Engkau mencintai aku tanpa batas.

Tuhan kita memperlakukan kita dalam cara ini -persatuan dengan Salib- untuk menguduskan kita, dan Dia juga membiarkan Gereja itu sendiri mengalami banyak serangan. “Tidak ada hal yang baru,” kata St. Josemaria. “Sejak Yesus Kristus Tuhan kita mendirikan Gereja-Nya, Bunda kita ini terus menerus mengalami penganiayaan. Di masa lampau serangan-serangan dilakukan secara terbuka. Sekarang, dalam banyak kasus, penganiayaan dilakukan secara tersamar. Tetapi hari ini, sebagaimana kemarin, Gereja terus diserang dari banyak sisi.”[7]

Tak satupun dari hal-hal ini mengejutkan kita. Tuhan sendiri sudah memberitahukan hal ini kepada para Rasul: Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu. Ingatlah apa yang telah Kukatakan kepadamu: “Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya.” Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu.[8]

Memang benar bahwa ada saatnya di mana serangan-serangan pada ajaran Katolik, pada Paus dan pada Uskup-uskup semakin meningkat. Para imam bersama dengan orang-orang yang berusaha untuk menegakan moralitas kehidupan dicemooh. Para awam Katolik yang menggunakan kebebasannya, berusaha untuk menerangkan hukum sipil dan masyarakat civil dalam terang Injil dikucilkan. Saya bayangkan bahwa kalian semua merasa prihatin terhadap orang-orang malang ini yang di dalam pikiran dan jiwa mereka tidak ada hal-hal lain kecuali kebencian. Marilah kita menolong mereka dengan doa-doa kita.

Bilamana berhadapan dengan situasi-situasi demikian ini, kita tidak boleh putus asa atau menjadi takut. Kita harus rasakan keprihatian bagi mereka yang salah, dan berdoa bagi mereka, serta membalas kejahatan dengan kebaikan Dengan gembira kita harus bertekad untuk menjadi lebih setia dan lebih berjiwa merasul. Marilah kita mengingat kembali perkataan St. Josemaria “Allah dan keberanian diri dalam tahun-tahun awal Opus Dei, ketika kesulitan-kesulitan dalam yang dihadapi oleh Gereja tidak kurang besarnya daripada sekarang. Marilah kita renungkan kata-kata Tuhan kita yang baru saja saya kutip: Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu. Allah tidak kalah dalam pertempuran. Dengan kasih-Nya yang tak terbatas dan kemahakuasaan-Nya, Ia sanggup menghasilkan yang baik dari yang jahat.

Mereka yang merasa menang karena mereka menganggap mereka telah menaklukan Gereja. Namun setiap kali Gereja - Mempelai Kristus - bangkit kembali, dia menjadi lebih indah dan lebih murni agar dapat terus menjalankan tugasnya sebagai sarana keselamatan bagi semua bangsa. St. Agustinus sudah menjelaskan hal ini pada masa hidupnya, dengan kata-kata yang digunakan oleh Bapa kita dalam salah satu homilinya. “Jika secara kebetulan kalian mendengar kata-kata yang menyinggung atau umpatan menyerang Gereja, tunjukkan dengan sikap berprikemanusian dan cinta kasih kepada para pelaku yang tidak mengenal cinta itu, bahwa mereka tidak boleh memperlakukan seorang Bunda dengan cara demikian. Sekarang, mereka menyerang Gereja tanpa mendapat hukuman, sebab kerajaannya, yang adalah kerajaan sang Guru dan Pendiri-nya, bukanlah berasal dari dunia ini. ‘Selama gandum mengerang di antara jerami, selama pucuk gandum mengeluh di antara tiram, selama mereka yang berbelas kasih meratap di antara mereka yang marah, selama bunga bakung terisak-isak di antara duri-duri, akan selalu ada musuh yang berkata: kapan dia akan mati dan namanya punah? Mereka berpikir: akan tiba waktunya di mana Gereja akan lenyap dan tidak ada lagi orang-orang Kristen ... Tetapi, bila mereka berkata demikian, mereka mati karena tuntutan kodrat. Sedang Gereja tetap berdiri’ (St. Augustinus, En. In Ps., 70, II, 12) “.[9]

Kadang-kadang mungkin kita ingin agar Allah mau menunjukkan kekuasaanNya dengan membebaskan Gereja secara definitif dari orang-orang yang menganiayanya. Dan mungkin kita ingin bertanya: “Mengapa Engkau mengizinkan mereka mempermalukan orang-orang yang telah Engkau tebus dengan cara ini?” Inilah keluhan St Yohanes, yang dalam Kitab Wahyu, ditempatkan di bibir orang-orang yang telah memberikan kesaksian akan Kristus dengan kematian mereka: aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Dan mereka berseru dengan suara nyaring, katanya: "Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami kepada mereka yang diam di bumi?"[10] Jawabannya datang tidak lama kemudian: kepada mereka dikatakan, bahwa mereka harus beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka.[11]

Begitulah cara Allah bertindak. Mereka yang menyaksikan penangkapan Kristus, pengadilan-Nya yang berat sebelah, hukumanNya yang tidak adil, kematianNya yang memalukan, menyimpulkan secara keliru bahwa segalanya telah berakhir. Namun meskipun demikian, Penebusan umat manusia tidak pernah sedekat ketika dengan rela Yesus menderita bagi kita. Betapa mengagumkan dan menakjubkannya misteri ini! Demikian kata Bapa Suci. Kita tidak pernah cukup merenungkan kenyataan ini. Meskipun DiriNya Allah, Yesus tidak ingin hak istimewa ilahi-Nya menjadi milik-Nya sendiri; ia tidak ingin menggunakan keberadaan-Nya sebagai Allah, kemuliaan martabat-Nya dan kekuasaan-Nya, sebagai alat kemenangan.”[12]

Tuhan kita menginginkan agar anggota Tubuh Mistik-Nya turut ambil bagian dalam misteri penghinaan dan kemuliaan Penebusan-Nya. "Bila Jumat Agung adalah hari yang diliputi oleh kesedihan, maka adalah saat yang tepat bila pada hari itu kita membangunkan kembali iman kita, untuk memperkuat harapan dan keberanian kita agar dengan demikian kita masing-masing dapat memikul salib kita dengan rendah hati, kepercayaan dan penyerahan diri terhadap Allah, yakin akan pertolongan-Nya dan kemenangan-Nya. Liturgi hari ini melantunkan: O Crux, ave, spes unica Salam, O Salib, satu-satunya harapan kami! "[13] Saya anjurkan apa yang saya lihat dilakukan oleh Bapa kita: menikmati, merenungkan, menjadikan sebagai kata-katanya sendiri apa yang diulang dalam cara yang khusus sepanjang Pekan Suci: Adoramus te, Christe, et benedicimus tibi. Quia per sanctam Crucem tuam redemisti mundum! Kami menyembah Dikau, ya Kristus, dan bersyukur kepada-Mu, sebab dengan Salib Suci-Mu Engkau telah menebus dunia!

Dalam cahaya Kebangkitan-Nya yang mulia, yang terjadi setelah Kematian dan Penguburan-Nya, segala peristiwa-peristiwa yang membuat kita merasa sedih atau menderita sekarang memiliki makna yang sesungguhnya. Maka marilah kita berusaha memahami peristiwa-peristiwa itu dalam cara ini, setiap waktu mencintai kehendak Allah, yang, walaupun tidak menginginkan kejahatan, membiarkannya dalam rangka menghargai kebebasan kita dan mejadikan kerahiman-Nya lebih bersinar terang. Dan mari kita berusaha untuk membantu orang lain, yang mungkin bingung atau kehilangan arah, untuk memahami ini.

"Tidak peduli apa yang terjadi, Kristus tidak akan meninggalkan Mempelai-Nya." [14] Tuhan kita terus tinggal di dalam Gereja, kepadanya Ia telah mengutus Roh Kudus untuk menyertainya selamanya. "Itulah yang direncanakan oleh Allah: Yesus, yang mati di kayu salib, menganugerahi kita Roh kebenaran dan hidup. Kristus tetap berada di dalam Gereja-Nya, dalam sakramen-sakramen, liturgi, homili -di dalam semua hal yang dikerjakannya"[ 15] Dan Bapa kita menambahkan: "Hanya bila manusia setia pada rahmat dan memutuskan untuk menempatkan salib di pusat jiwanya, dengan menyangkal dirinya demi kasih Allah, dengan melepaskan dirinya secara nyata dari keterikatan akan segala keegoisan dan jaminan manusiawi yang palsu, barulah dia akan menerima kepenuhan dari semangat, terang dan penghiburan yang besar dari Roh Kudus. "[16]

Pada tanggal 23 bulan ini kita akan sekali lagi merayakan Komuni Suci Pertama Bapa kita. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kegembiraannya, adorasinya, cintanya akan Ekaristi pada hari Kamis Putih. Tapi apa yang saya dapat katakan kepada kalian adalah tentang rasa syukurnya dan adorasinya pada Yesus Kristus dalam Hosti Kudus yang layak untuk diteladani: segalanya tampak kecil baginya, dan ia memohon agar Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus mengajarinya bagaimana mencintai, bagaimana mengajarkan kita untuk mengasihi.

Ada peringatan-peringatan lainnya dalam sejarah Opus Dei sepanjang bulan ini: saya serahkan semua itu ke dalam perasaan keingin-tahuan kalian yang sehat, sehingga, sebagai putra dan putri yang baik, kita boleh tahu bagaimana berterima kasih kepada Tritunggal Mahakudus atas semua kebaikan-Nya terhadap kita. Sekarang, antara lain, untuk buah-buah rohani dari perjalanan yang saya ke Palermo, akhir pekan lalu.

Teruslah berdoa bagi Bapa Paus dan semua yang membantunya, dan bagi semua intensi saya. Kata sandi” yang saya anjurkan untuk kalian adalah sama seperti yang St. Josemaria berikan pada masa awal Opus Dei: “Tuhan dan keberanian diri” : iman dan keteguhan hati, dengan didasari optimisme yang berakar dalam harapan. Mari kita mengintensifkan kerasulan persahabatan dan kepercayaan yang merupakan bagian dari Opus Dei, tanpa mengkhawatirkan apa yang mungkin dipikirkan orang, berdasarkan pada kehidupan doa dan pengorbanan, dalam penyelesaian pekerjaan profesional sebaik mungkin. Dan Allah akan melakukan segalanya "lebih cepat, lagi banyak, dan lebih baik" dari yang dapat kita bayangkan.

Dengan penuh kasih sayang, saya memberkati kalian,

Bapamu,

+ Javier

Catatan kaki :

1. St. Josemaría, Surat kepada Uskup Moran Francisco, 15 Mei, 1935. (bdk. Andrés Vázquez de Prada, Pendiri Opus Dei. Vol I,. hal 421).
2. bdk. Flp 2:6-11.

3. Paus Benediktus XVI, Disampaikan pada audiensi umum, 8 April, 2009.
4. Ibid.
5.
St. Josemaría, Menempa, no. 418.
6.
St. Josemaría, Jalan Salib, perhentian keenam.
7. St. Josemaría, Homili Tujuan Adikodrati Gereja, 28 Mei 1972. (Cinta akan Gereja, no.18).
8. Yoh 15:18-20.

9. St. Josemaría, Homili Kesetiaan pada Gereja, 4 Juni 1972. (Cinta akan Gereja, no.16).
10. Why 6:9-10

11. Ibid., 11.
12. Paus
Benediktus XVI, Disampaikan pada audiensi umum, 8 April 2009
13. Ibid.
14.
St. Josemaría, Homili Kesetiaan pada Gereja, 4 Juni 1972. (Cinta akan Gereja, no.16).
15. St. Josemaría, Kristus yang sedang berlalu, no. 102.
16. Ibid, no.137.

 

—————

Back


Assumption Of The Virgin

Karya Francesco Granacci, 1517



Pusat Opus Dei Surabaya
Jln. W.R. Supratman 65
Surabaya 60263
Tlp.(62-31)5614937

Pembimbing rohani
Romo F.X. Zen Taufik
Romo Ramon Nadres