08/05/2010 18:18

Paus dan Iman-imam Paedofil

Marcello Pera adalah seorang filsuf dan politikus Italia. Ia pernah menjabat sebagai Presiden Senat Italia dari tahun 2001 hingga tahun 2006. Tidak lama setelah adanya dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh imam dan tuduhan atas tidak bertindaknya bagian dari otoritas Gereja Katolik, ia mengirimkan artikel ini ke surat kabar Italia Corriere della Sera. Dalam artikel yang diterbitkan pada tanggal 19 Maret 2010 ini, ia berpendapat bahwa di balik semua ini terdapat pertempuran yang berlangsung antara sekularisme dan Kristianitas. Kasus-kasus pelecehan tersebut hanyalah alasan bagi peperangan ini.

 

Berita-berita belakangan ini di Jerman mengenai imam-imam paedofil atau homosex merupakan serangan langsung terhadap Bapa Paus. Salah besar bila kita menganggap bahwa tuduhan ini tidak akan membawa dampak hingga ke persoalan yang jauh lebih serius. Dan ini akan menjadi kesalahan yang lebih besar lagi bila orang mengira bahwa persoalan ini akan reda dengan sendirinya seperti yang pernah terjadi pada situasi yang mirip di masa yang lalu. Ini beda.

Perang yang sedang berlangsung ini, pada hakekatnya tidak ditargetkan untuk menyerang pribadi Paus itu sendiri, karena dalam perkara ini, hal itu tidak mungkin. Sebab berkat citranya, ketenangannya, kejelasannya dan ajarannya, Paus Benediktus XVI telah menjadi kebal dengan sendirinya. Senyumnya yang penuh kelembutan sudah cukup untuk mengalahkan seluruh pasukan musuh yang ada. Bukan, pertempuran ini adalah antara sekularisme dan Kristianitas. Para sekularis tahu bahwa jika lumpur itu dipercikkan pada jubah putih, maka akan menodai gereja, dan jika gereja ternoda, begitu pula agama Kristen. Itulah sebabnya mengapa para sekularis dalam kampanyenya, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti "Siapa yang akan terus membawa anak-anak ke Gereja?" atau "siapa yang akan terus mengirimkan putra-putranya ke sekolah-sekolah Katolik?" atau bahkan, "siapa yang akan membawa anak-anak kecil kami untuk berobat di rumah sakit atau klinik Katolik?"

Beberapa hari yang lalu, salah seorang sekularis benar-benar kelewat batas dengan menulis bahwa "tingkat penyebaran pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh imam-imam meruntuhkan legitimasi utama Gereja Katolik sebagai penjamin pendidikan anak-anak di bawah umur". Bagi si penulis ini, tampaknya ia tidak perduli bahwa tuduhan ini tidak berdasarkan realita yang ada, karena yang disebut "tingkat penyebaran" merupakan hal yang kabur. Berapakah persentase imam yang paedofil? Satu, sepuluh persen? Semua imam? Tampaknya ia juga tidak peduli bahwa pernyataannya ini tidak logis. Orang hanya perlu mengganti kata "imam" dengan "guru", "politikus", atau "jurnalis" untuk merongrong legitimasi sekolah umum, parlemen atau surat kabar. Apa tujuan mereka membuat sindiran bahkan sampai menggunakan argumen-argumen yang kasar. Imam-imam itu paedofil, karena itu, Gereja tidak memiliki wibawa moral... karena itu pendidikan Katolik berbahaya... karena itu Kristianitas adalah satu penipuan dan berbahaya!

Pertempuran adalah antara sekularisme dan Kristianitas. Untuk membuat satu perbandingan, kita harus ingat kembali akan Nazisme dan Komunisme. Medianya memang sudah berubah, tetapi tujuan akhirnya tetap sama. Hari ini, sama seperti kemarin, dengan tekun mereka menginginkan kehancuran agama. Harga yang dibayar oleh Eropa atas kehancuran ini adalah kebebasannya mereka sendiri. Sulit untuik bisa dimengerti bahwa Jerman yang masih merasa bersalah ketika mengingat akan korban yang harus ditanggung oleh seluruh benua Eropa (sementara Jerman sendiri saat ini telah menjadi satu negara demokartis) kelihatannya pada hari ini telah terlupakan demikian cepat. Sekarang ini Jerman nampaknya tidak paham bahwa demokrasi itu sendiri akan lenyap bila Kristianitas dimusnahkan. Kehancuran agama mendorong ke arah kehancuran akal budi. Sekarang ini, hal itu tidak akan menjadi kemenangan sekular melainkan awal dari barbarisme dalam satu bentuk yang baru.

Dalam bidang etika, adalah suatu babarisme bilamana janin dibunuh karena hidupnya dapat mengganggu “kesehatan mental" si ibu. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa embrio adalah sebuah “gumpalan sel" yang cocok untuk penelitian. Mereka adalah orang-orang yang membunuh orang lansia karena dia tidak lagi memiliki keluarga untuk merawatnya. Mereka adalah orang-orang yang mempercepat kematian anak yang sudah tidak sadar lagi dan tidak dapat disembuhkan; mereka adalah mereka yang percaya bahwa "orang tua A" dan "orang tua B" setara dengan "ayah" dan "ibu", mereka yang berpendapat bahwa iman itu bagaikan tulang ekor, sebuah organ tubuh yang dalam proses evolusi sudah tidak lagi memiliki peranan karena kemampuan berdiri tegaknya manusia tidak lagi membutuhkan ekor. Dan seterusnya.

Di pihak lain, bila kita tinjau dari sudut politik peperangan sekularis melawan Kristianitas ini, maka barbarisme akan mengakibatkan kehancuran Eropa. Hal ini benar karena, sekali anda menghancurkan Kristianitas, akibatnya adalah multi-kulturalisme, yaitu kepercayaan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki hak atas budayanya sendiri; Relativisme, yang berpendapat bahwa satu kebudayaan sama baiknya dengan kebudayaan lain; Pasifisme, yang menyangkal keberadaan kejahatan atau berpendapat bahwa Eropa secara secara retoris dan tak bertanggung jawab tidak memerlukan identitas sendiri, melainkan cukup menjadi wadah bagi semua identitas. Setelah menunjukkan semua tuntutan-tuntutan ini, mereka pergi ke Katedral Strasbourg dan berseru: "Sekarang kami memerlukan jiwa Kristiani bagi Eropa."

Peperangan melawan Kritianitas ini tidak akan begitu berbahaya jika orang-orang Kristen mengerti apa yang sedang terjadi. Sayangnya, sebagian besar dari mereka hidup dalam ketidakpahaman. Para teolog-teolog kecewa dengan supremasi intelektual Benediktus XVI. Ada Uskup-uskup yang tidak percaya diri, dan berpendapat bahwa berkompromi dengan modernisme adalah cara terbaik untuk memperbarui pesan Kristiani. Ada Kardinal-Kardinal yang menderita krisis kepercayaan, dan mulai menyatakan bahwa selibat imamat bukanlah satu dogma dan bahkan mungkin akan lebih baik untuk dipertimbangkan kembali. Ada Intelektual-intelektual Katolik yang mampan, yang berpendapat bahwa ada masalah yang berkaitan dengan kaum wanita di dalam Gereja dan masih ada masalah yang belum terselesaikan antara Kristianitas dan seksualitas. Ada konferensi-konferensi Keuskupan yang buta akan realitas sehari-hari, mengadopsi satu kebijakan “buka pintu" dengan semua orang, namun tidak memiliki keberanian untuk mengecam agresi dan penghinaan yang dialami oleh orang-orang Kristen dengan terus-menerus dan dipaksa untuk membela diri. Atau para senator yang memperagakan menteri urusan luar negeri yang cantik dan homosex, sementara pada saat yang sama mereka menyerang Paus pada setiap isu etika; atau mereka yang lahir di dunia barat dan berpikir bahwa dunia barat haruslah menjadi sekular yaitu anti-Kristiani.

Perang sekularis ini akan terus berlanjut. Memang demikianlah karena seorang Paus seperti halnya Benediktus XVI yang tersenyum, tapi tidak sedikitpun ia mengubris hal itu. Bilamana kita mengerti mengapa beliau tidak mengalah, maka kita akan menghadapi tantangan itu tanpa duduk dengan tenang menanti serangan berikutnya. Siapapun yang membatasi dirinya hanya untuk menunjukan solidaritasnya kepada Paus, adalah seorang yang masuk ke dalam Taman Zaitun di malam hari secara sembunyi-sembunyi atau dia seseorang yang masih belum mengerti apa yang sedang terjadi.

 

sumber : Paedophile priests and the pope; www.mercatornet.com

 

Catatan dari penterjemah

  1. Barbarisme : paham, sifat, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata aturan peradaban.

  2. Paedofil : orang yg mempunyai selera seksual terhadap anak kecil.

  3. Multi-kulturalisme : gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.

  4. Relativisme : pandangan yang menolak pengertian yang mutlak dalam pengetahuan yang disarai oleh keyakinan bahwa pengetahuan manusiawi itu terbatas, baik oleh akal budi yg serba terbatas maupun oleh cara mengetahui.

  5. Pasifisme : aliran yang menentang adanya segala bentuk kekerasan, misalnya perang.

  6. Modernisme : gerakan yg bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Aliran ini bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik di mana segi seperti yang telah dijelaskan oleh Paus Pius X.

     

     

 

—————

Back


Assumption Of The Virgin

Karya Francesco Granacci, 1517



Pusat Opus Dei Surabaya
Jln. W.R. Supratman 65
Surabaya 60263
Tlp.(62-31)5614937

Pembimbing rohani
Romo F.X. Zen Taufik
Romo Ramon Nadres